<body>


one step ahead
Wednesday, October 24, 2007

Trial and error

Saudara sepupuku dan istrinya adalah pasien obgyn yang bernama dr H, Sp.OG. Dokter H praktek di Babarsari. Kebetulan saudaraku (dan istrinya) pengin punya anak setelah 1 tahun menikah ternyata tidak juga dikaruniai seorang anak.
Pengobatan sudah berjalan selama 5 bulan dengan hasil negatif. Tidak satupun program yang disarankan oleh dokter H memberi hasil kehamilan. Akhirnya dokter H menganjurkan supaya pihak istri menjalani tes hormon di laboratorium.
Tes hormon (yang berhubungan dengan proses kehamilan) di laboratorium klinik Prodia berkisar antara Rp 170,000 sampai dengan Rp 220,000. Tergantung dari jenis hormon apa yang akan diperiksa.
Saudaraku menolak mentah-mentah saran si obgyn. Dalam pembelaannya kepadaku, saudaraku bilang "Dokternya ni gimana sih. Mbok ya kalo ga cocok pake obat yang sebelumnya, kan bisa dicoba pake obat lain to. Masak langsung disuruh periksa hormon sih."
Ngedenger jawaban seperti itu, aku cuman bisa bengong aja. Aku sama sekali ga bisa ngerti jalan pikiran sepupuku itu. Menurutku, sepupuku itu tidak bisa disebut sebagai orang miskin. Meski kita berdua seumuran, but dia udah punya rumah di atas tanah seluas 700 m2. Bukan orang miskin kan? Lha kok bisa-bisanya dia berpendapat seperti itu. Malah aku heran ama dokternya, kok bisa-bisanya ngasih obat tanpa menyelidiki dulu kondisi pasien yang sebenar-benarnya.
Benar-benar 180 derajat berbeda ama aku. Aku dan suami adalah peserta program fertilitas di RS Bunda dan klinik fertilitas Permata Hati RS Sardjito. Aku penginnya si dokter benar-benar mengumpulkan data dulu sebanyak-banyaknya. Kalau data udah terkumpul, baru deh aku berharap dokter bisa memutuskan obat atau terapi apa yang cocok. Aku ga suka trial and error obat. Karena aku bukan tikus percobaan.
Suamiku juga berpendapat sama kek aku. Mungkin karena kita berdua pernah kuliah di Teknik Kimia, maka logika berpikirnya jadi seperti itu. Keputusan baru bisa diambil jika dan hanya jika ada data.
Sepupuku yang laen lagi juga kasusnya hampir sama. Dia dan suaminya adalah pasien dokter M, Sp.OG di RS Panti Rapih. Pada bulan ketiga, dia diberi obat untuk menambah kesuburan, yaitu provula. Yang ngebikin aku heran adalah, atas dasar apa dokter ngasih provula? Lha wong ga pake tes hormon gitu lho.
Temenku yang menjalani program fertilitas di RSAB Harapan Kita contohnya. Dokternya sama sekali ga mau ngasih profertil (atau provula). Karena berdasar USG transvaginal dan tes hormon, terbukti bahwa temenku bisa berovulasi. Lalu buat apa dikasih profertil.
Ternyata emang perlakuan dokter kandungan itu benar-benar berbeda. Ada dokter yang sukanya trial and error tanpa ada data yang jelas. But ada juga dokter yang mengumpulkan data dulu baru memutuskan. Akhirnya semuanya emang diserahkan kepada kondisi perekonomian dan kesadaran pasien akan betapa berharganya tubuhnya.
Program trial and error tentunya ga butuh dana banyak. Paling kan cuman anggaran buat obat aja. On the other hand, untuk periksa hormon dan USG transvaginal, butuh dana banyak.
Interesting to note, dari cerita-cerita tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam memberi advice kepada pasien yang menginginkan anak, dokter kandungan biasa lebih suka teknik trial and error, sementara dokter kandungan dengan subspesialis fertilitas (atau KFER; konsultan fertilitas, endokrin dan reproduksi) mengambil keputusan dengan mengumpulkan berbagai macam data yang didukung oleh fasilitas lengkap yang dimiliki oleh klinik fertilitas.
Pilihan akhirnya emang sepenuhnya ada di tangan pasien. Meski aku bukan orang kaya, karena aku bukan tikus percobaan, aku ga suka program trial and error.

Comments: Post a Comment
The Journal

tomorrow should be better than today



Blogroll Me!

Subscribe with Bloglines

Add http://cikubembem.blogspot.com to your Kinja digest

Listed on BlogShares


The Writer

Momo-chan.
Bukan orang biasa.
Ga suka MASAK.
Pecinta rotenburo.



Something Happened




Contact me

Send an email


Important Note

Postingan di blog ini terdiri dari kisah nyata dan fiksi. Dalam teknik penulisan di blog ini, aku lebih memilih menggunakan sudut pandang orang pertama, meski tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Mengingat ada beberapa postingan yang bersumber pada kisah nyata, maka demi menjaga kerahasiaan responden, aku tidak bersedia menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan jati diri responden.
Kesamaan nama, tempat dan peristiwa adalah kebetulan belaka. Dan semua itu bertujuan agar maksud postingan tersampaikan dengan baik.


Archives

November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
January 2008
May 2008
June 2008
July 2008
August 2008
October 2008
December 2008
February 2009
March 2009


Previous Posts

Why I hate omimai
Menikah: Tambah saudara, tambah musuh juga donk
Berat memang
Persiapan nikah (2)
Kyou no tanggal wa?
Bumbu-bumbu mendokusai
Jamur
Hadiah ulang tahun
Puasa @ Indonesia
Bukan penerjemah


Friends




Links

Panasonic Scholarship Japan
Panasonic Scholarship Indonesia
Mie University
Japanese-English Online Dictionary


Member of









Credits

  
  
  
  



Designed by mela
Get awesome blog templates like this one from BlogSkins.com