<body>


one step ahead
Saturday, November 27, 2004

Do I like to study?

OMG, how I can spend so long time of my life to be a student. I remember last week when I went to Nago Elementary School to take part in Helloween party. Actually we -international students- were invited to participate in that event to communicate with the students in English. Because of that, students should try to speak English. One of the student asked me, "do you like to study?". OMG... it was really a difficult question. How he could ask this difficult question. And because in this event we should try to speak English as simple as possible, I just answered "I don't like to study, but I have to study". They really didn't know the meaning. Some guessed "benkyou ga kirai kedo, tanoshii desu". Wuahahahaha... zenzen chigau yo. Some guessed "benkyou ga ichiban suki". Weisssss.... how it could be. Thanks to a very nice teacher who translated this sentence to them.

Do I like to study? Even I also don't know the answer. Sometimes I just find some challenge when I should learn something that I don't know. And in the next day (or week or anytime) when I finally find the answer or when I know something that I didn't know before... I just feel that... wow... today is better than yesterday. It is absolutely be the one of my happiness.

In my laboratory I have a friend from Kenya. He was the first person in Mie University whom I contact by email (beside my sensei of course). He is really a helpful and low profile person. He has finished his master degree in 3 different countries and now he is PhD student (D1) here. OMG.... he is really that person. I have never surprised to know a-25-year-old-person graduated from PhD program or a-17-year-old-boy graduated from undergraduate degree. I really have never counted these as an extra ordinary cases.

In my opinion, studying is not how fast you can finish your program. Or how fast you can graduate from post-doctoral program. It's really not this idea at all. Studying is the continual process to understand so many things in this universe. This universe is really nothing in front of Him. And we have never finish our study. Imagine... how we are very tiny compare with Him.

Studying is not whether we gain PhD or not. Studying is about learning a very very tiny portion of His knowledge, because of that... studying doesn't need a degree.

And here I am now... somewhere in this world where everywhere is Kanji. I am really blind of this that I can't get out of my room without my electric dictionary. Back to 1 year ago... it was really a miracle how I could start to study Japanese. It is still in deep of my heart how I hate to study Germany and this was really blocked my mind of not studying a new language again. I really hate to study language.

As you know... there is no separation process, neither chemical nor physical, which can separate hate and love effectively. These 2 feelings belongs to the same family I guess. And time pass.... here I am now. The only one international student in my laboratory who really eager to study Japanese. 3 days before, when my sponsor visited me, I said that what I really want to study now is the kanji and vocabulary of my subject so that I can understand my Japanese friend's every-week-research report. Hope that it will not only be my dream.

IHHG -that's what he always abbreviate his name- is someone who change my opinion about studying a new language. He told me some of his story that suddenly make me realized that language should not be a border at all. Below is one of his email. I post it because he really want me to post this to all of my friends. Hope that it will also give you some inspiration to reach a better future

PROSES

"Oh, sulit sekali belajar Bahasa Prancis!" Sebuah ungkapan yang sangat umum terdengar di kalangan para siswa Centre Culturel Francais (CCF), dari tingkatan mana pun. Bahkan pada kenyataannya, ungkapan ini adalah ungkapan yang sangat umum dijumpai di segala situasi manusia, terlebih ketika kita hidup di Indonesia.

Sir Isaac Newton, dalam salah satu postulatnya yang kemudian dikenal sebagai Hukum Gerak Pertama Newton, mendapatkan bahwa suatu benda fisis akan cenderung bertahan pada keadaannya semula. Jelasnya, benda yang diam akan cenderung diam dan benda yang bergerak akan cenderung bergerak. Satu-satunya cara untuk memindahkan benda tersebut dari satu keadaan ke keadaan lainnya adalah dengan menginjeksikan energi eksternal ke sistem energi yang ada di dalam benda tersebut. Artinya, dibutuhkan energi lebih, atau ekivalennya dalam terminologi bahasa kita, usaha lebih, untuk mengubah keadaan suatu benda fisis ke keadaan lainnya. Setelah benda tersebut berpindah dan berada di dalam keadaan barunya, yang artinya usaha eksternal yang diberikan sudah melampaui momen inersia yang dikandung oleh benda tersebut, praktis tidak lagi diperlukan usaha untuk mempertahankan benda tetap berada dalam keadaan itu.

Secara sekilas, kita boleh saja beranggapan bahwa hal ini hanya berlaku pada benda-benda fisis. Akan tetapi, pada kenyataannya, hukum ini berlaku pada segala sesuatu yang ada di dunia yang kita ketahui ini. Memang selalu sangat sulit untuk memulai suatu pekerjaan baru, karena dalam hal ini kita berupaya untuk berpindah dari keadaan lama kita (tidak bisa melakukan) ke suatu keadaan baru (bisa melakukan). Energi eksternal atau usaha lebih yang diindikasikan oleh Hukum Gerak Pertama Newton memanifestasikan dirinya di dalam kesulitan yang kita hadapi itu. Namun, setelah kita mampu melewati tahap-tahap awal yang sulit ini, jalan selanjutnya cenderung untuk begitu mulus dan mudah dilalui, karena pekerjaan tersebut pada akhirnya berubah menjadi suatu kebiasaan bagi diri kita. Perhatikanlah bagaimana kita sekarang terbiasa untuk berjalan, ketika 27 - 30 tahun yang lalu kita hanyalah seorang makhluk kecil yang hanya mampu sekedar menggerak-gerakkan tungkai-tungkai kita di pelukan sang ibu. Perhatikan pula, apabila kita kembali ke konteks Bahasa Prancis di atas, bagaimana seseorang pribumi di suatu daerah mampu berbicara bahasa "ibu" daerahnya. Perhatikanlah dengan seksama berbagai hal di dalam hidup ini, dan kita pasti akan membenarkan kenyataan itu.

Akan tetapi, jikalau semenjak awal kita telah terlebih dahulu gentar dengan kesulitan yang harus dihadapi dalam memulai suatu pekerjaan, kita tidak akan pernah sampai pada titik di mana "praktis tidak lagi diperlukan usaha untuk melakukan kerja" yang hendak kita lakukan. Tentunya, hal ini mengasumsikan bahwa kita hanya akan diam saja di tempat, pada keadaan baru yang telah dicapai itu, dan tidak menghendaki perbaikan dan penyempurnaan. Perbaikan dan penyempurnaan mensyaratkan input usaha eksternal yang berkesinambungan, sebagaimana disiratkan oleh rumus-rumus fisika tentang percepatan gerak. Lagi-lagi kita berterima kasih kepada Sir Isaac Newton.

Satu-satunya hal yang dapat mengatasi keengganan, atau "inersia", di dalam diri kita hanyalah niat. Di dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda bahwa "Segala sesuatu dimulai dari niat". Niat di dalam Islam, sebagaimana yang saya yakini, mengimplikasikan konsistensi tindakan (persistence). Apabila kita berkeinginan untuk melakukan sesuatu, namun tidak menindaklanjutinya dengan tindakan yang terus-menerus dan konsisten, maka saya percaya bahwa hal itu hanyalah sekedar suatu "keinginan", bukan sebuah "niat". "Niat" dan "keinginan" di mata Islam yang saya yakini, adalah dua hal yang berbeda. Dengan demikian, tidak ada "jalan instan" menuju segala sesuatu. Bahkan metodologi-metodologi belajar yang paling canggih pun, yang sedemikian gencarnya dipromosikan sebagai "jalan pintas" untuk "bisa" sesuatu, mengharuskan kita untuk melakukan suatu bentuk latihan secara berulang-ulang. Apa yang ditawarkan oleh metodologi-metodologi semacam ini hanyalah "mengefisienkan" pembelajaran kita, namun seefisien apapun suatu sistem, input tetap dibutuhkan. Proses itu tetap ada di sana, dan proseslah yang merupakan hal terpenting, bukan hasil. Perhatikanlah anak-anak SMA yang sedemikian percayanya terhadap kemumpunian suatu bimbingan tes persiapan UMPTN, BTA misalnya, atau Sony Sugema College, atau Nurul Fikri, atau sebutlah apa. Mereka memang dapat lulus UMPTN. Namun apakah mereka mampu menunjukkan kinerja yang "luar biasa" di bangku kuliah, di UI, ITB, UGM? Sebagian dari mereka hanyalah mahasiswa rata-rata, sisanya, sekedar menghela napas lega karena tidak tersaring oleh evaluasi SKS dan tidak terdepak dari universitasnya - terkecuali, sebagian terkecil saja dari mereka yang mengubah persepsinya di tengah jalan dan berupaya belajar dengan sungguh-sungguh. Tidak ada "jalan instan" menuju segala sesuatu, apa pun juga hal itu.

Thomas Alva Edison, pendiri sebuah raksasa di kancah bisnis, bahkan yang saat ini terbesar di dunia, General Electric dan pemegang paten untuk lebih dari 1000 penemuan, pernah berujar, "Jenius adalah 1% talenta dan 99% kerja keras". Islam sendiri menempatkan posisi yang begitu tinggi bagi orang-orang yang "berilmu" dan "berakal". "Ilmu" dan "akal" dalam konteks yang saya yakini, tidak merujuk kepada konsepsi "kecerdasan" (IQ) sebagaimana yang dimaksud oleh ilmu psikologi modern. Kecerdasan atau IQ, yang merepresentasikan SEBERAPA CEPATNYA kita dapat menyerap hal yang disampaikan atau memahami sesuatu, hanyalah merupakan salah satu bentuk talenta yang dimiliki manusia. Ilmu dan akal dalam Islam yang saya yakini, merujuk kepada keluasan pengetahuan, akumulasi hasil dari suatu proses pembelajaran yang konsisten dan tak kenal lelah. Akumulasi pengetahuan (yang benar dan bermanfaat, tentunya) akan menjadikan kita mampu melihat kebenaran dengan lebih jelas, atau setidaknya dalam konteks subyektivitas kita sebagai manusia, lebih mendekatkan pemahaman kita kepada kebenaran obyektif yang hanya dimiliki Allah SWT. Talenta, terutama yang berlebih, hanya akan merangsang pertumbuhan ego dengan kecepatan yang tidak lazim. Sebagian besar dari mereka yang mengklaim dirinya atheis, adalah orang-orang yang cenderung "overly-talented", sementara sebagian lainnya adalah orang-orang yang begitu mudah bertekuk-lutut kepada "inersia" berpikirnya namun, anehnya, juga mengalami pertumbuhan ego dengan kecepatan yang tidak lazim - dalam bahasa Al-Qur'an: "orang-orang miskin yang sombong".

Akumulasi pengetahuan tidak memiliki korelasi yang begitu erat dengan talenta IQ. Setiap orang dapat memiliki keluasan pengetahuan, kalau memang ia mau melampaui prosesnya, terlepas dari tinggi-rendahnya IQ seseorang (tentu ini merujuk kepada IQ "orang normal", bukan IQ "orang cacat"). Dengan demikian, memang proseslah yang jauh lebih dihargai di mata Allah SWT, bukan hasil, karena Dia-lah yang menentukan hasil itu, bukan kita. Demikianlah kita dapat memahami, mengapa Allah berfirman kepada Rasulullah dalam firmannya yang saya rangkumkan sebagai, "Wahai Muhammad, dakwah adalah urusanmu. Akan tetapi, keimanan seseorang adalah urusan-Ku." Proses-lah yang dituntut oleh Allah SWT kepada paragon Islam, Muhammad. Demikian pula, proses-lah yang dituntut oleh Zat Pencipta Yang Maha Kuasa itu kepada kita semua. Oleh karena itu, marilah sejak saat ini kita mencoba untuk tidak terlalu cepat berkata "Oh, saya tidak bisa" ketika kita harus melakukan suatu hal, apalagi jika hal tersebut menyandang bobot yang penting, atau bahkan sesuatu yang harus dilaksanakan. Cobalah untuk terlebih dahulu berkata, "Saya akan melakukannya semampu saya", atau mungkin lebih baik, "Saya tidak ingin melakukannya."



Special thanks:
- IHHG, for the inspiration

The Journal

tomorrow should be better than today



Blogroll Me!

Subscribe with Bloglines

Add http://cikubembem.blogspot.com to your Kinja digest

Listed on BlogShares


The Writer

Momo-chan.
Bukan orang biasa.
Ga suka MASAK.
Pecinta rotenburo.



Something Happened




Contact me

Send an email


Important Note

Postingan di blog ini terdiri dari kisah nyata dan fiksi. Dalam teknik penulisan di blog ini, aku lebih memilih menggunakan sudut pandang orang pertama, meski tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Mengingat ada beberapa postingan yang bersumber pada kisah nyata, maka demi menjaga kerahasiaan responden, aku tidak bersedia menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan jati diri responden.
Kesamaan nama, tempat dan peristiwa adalah kebetulan belaka. Dan semua itu bertujuan agar maksud postingan tersampaikan dengan baik.


Archives

November 2004
December 2004
January 2005
February 2005
March 2005
April 2005
May 2005
June 2005
July 2005
August 2005
September 2005
October 2005
November 2005
December 2005
January 2006
February 2006
March 2006
April 2006
May 2006
June 2006
July 2006
August 2006
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
August 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
January 2008
May 2008
June 2008
July 2008
August 2008
October 2008
December 2008
February 2009
March 2009


Previous Posts

Kamu minum susu apa?
Adaptasi yg Gagal: Berlalu Lintas
Senna atau Keita??
Liat J-ROCKS Ingat Kamechan
Babyboy babygirl?
Sensasi kecipratan salto pembalikan
Masakan Manado
Pencopet yang tidak beruntung
Speedo LZR
Working at home mom (???)


Friends




Links

Panasonic Scholarship Japan
Panasonic Scholarship Indonesia
Mie University
Japanese-English Online Dictionary


Member of









Credits

  
  
  
  



Designed by mela
Get awesome blog templates like this one from BlogSkins.com